Ketika Bang Buyung Bertemu Tan Malaka

"Bukan pengacara biasa. Dia adalah saksi sekaligus pelaku sejarah di republik ini."

Oleh: Bonnie Triyana

SUATU hari di tahun 1946, seorang lelaki berpakaian pangsi warna hitam datang ke rumah Rahmad Nasution di Yogyakarta. Rahmad memperkenalkan lelaki itu kepada anaknya, Adnan Bahrum Nasution alias Buyung, 12 tahun, sebagai “Oom” yang tak bernama, yang baru belakangan diketahuinya kalau si Oom itu bernama Tan Malaka.

Tan Malaka, kata Buyung, sering kali datang ke rumahnya, membahas persoalan politik yang tengah berkecamuk di republik saat itu. Buyung kecil ingat betul apa yang dibicarakan Tan kepada ayahnya: kritik kepada pemerintahan Sjahrir yang waktu itu dianggap terlalu lemah menghadapi Belanda.

“Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar, kalau perlu pukul! Jangan ajak dia berunding,” kata lelaki yang akrab dipanggil Bang Buyung itu menirukan Tan Malaka.

Maling yang tak perlu diajak berunding maksud Tan Malaka adalah Belanda. Waktu itu Perdana Menteri Sjahrir, alih-alih memobilisasi perlawanan fisik terhadap Belanda, malah memilih jalan diplomasi di meja perundingan. Bagi Tan Malaka, langkah tersebut sama artinya mengajak maling berunding di dalam rumah sendiri.

Kisah itu rupanya melekat dalam kenangan Adnan Buyung. Dalam setiap kesempatan wawancara atau pun diskusi bertema sejarah, pengacara berpenampilan khas berambut perak itu kerap menuturkan cerita yang sama. Bahkan menurutnya, Tan Malaka selalu tidur sekamar dengan Adnan Buyung karena tak ada kamar lain yang bisa digunakan sebagai tempat tidur Tan kecuali kamarnya.

Sejarawan Harry Poeze memperkuat keterangan Adnan Buyung tentang mengapa Tan Malaka kerap tinggal di rumahnya. Ketika berada di Yogyakarta awal Februari 1946, Tan memang seringkali berpindah-pindah tempat, dari satu rumah pengikutnya ke rumah pengikutnya yang lain, mulai Ismail sampai Sukarni.

“Selama bulan-bulan itu ia juga selalu menginap di rumah wartawan Rachmat Nasution, sehingga anaknya – Adnan Buyung Nasution – harus memberikan kamarnya kepada seorang “oom” tak bernama,” tulis Harry Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia jilid pertama.

Dalam sebuah kesempatan lain, Adnan Buyung juga pernah berkisah tentang Tan yang tidur di kamarnya. Buyung kecil memilih tidur di bawah dan Tan tidur di ranjang. Si oom tanpa nama itu bercerita tentang banyak hal kepadanya.

“Dari situ saya tahu kalau orang ini sangat cerdas,” kenangnya dalam sebuah diskusi Tan Malaka di Cikini beberapa tahun silam.

Pengacara gaek yang kisah hidupnya berwarna-warni itu kini telah tiada. Wafat pada usia 81 tahun, 23 September 2015 kemarin setelah sempat dirawat selama beberapa hari di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Selamat jalan, bang...

Komentar

Postingan Populer