Men-Dewi-Tolol-kan Perempuan?
Mbatam (08/09/2015) - #KPOnline. Ndak terasa kopi gelas plastik tandas hingga tersisa ampas didasarnya, keasyikan membaca tulisan bung karno berjudul Sarinah. Halaman pertama dengan judul KEWADJIBAN WANITA DALAM PERDJOEANGAN REPUBLIK INDONESIA.
hmm ...
Judul yang sangat menggugah hati orang indonesia.
masih di lembaran yang sama pada bagian bawah, tertulis 3 paragraph buah pikiran tokoh besar dunia Gandhi, Lenin dan Kemal Ataturk.
".. Banjak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas ditengah djalan, oleh karena keadaannya wanita kita" (Gandhi),
".. Djikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan ta' mungkin kita tjapai" (Lenin),
".. Diantara soal-soal perdjoeangan jang harus diperhatikan, soal wanita hampir selalu dilupakan" (Kemal Ataturk).
Buku lusuh terbitan 1963 yang menarik, diberi kata pengantar oleh Bung Karno tertanggal 3 Nopember 1947. Ada gairah untuk memasuki lembaran berikutnya, mencoba menyelami apa yang ada di dalam pikiran Bung Karno waktu itu soal perempuan .. ya judul bab I di tajuki "Soal Perempuan" ...
Bercerita bung karno dalam bab ini ..
Satu pengalaman, beberapa tahun jang lalu, wkatu saja masih "orang interniran";
Pada suatu hari, saja datang bertamu bersama-sama seorang kawan dan isteri kawan itu pada salah seorang kenalan saja, jang mempunjai toko ketjil. Rumah kedialaman dan toko kenalan saja itu bersambung satu sama lain; bahagian muka dipakai buat toko, bahagian belakang dipakai buat tempat kediaman.
Dengan budi jang amat manis kami diterima oleh kenalan itu, dipersilahkan duduk. Kami, -- jaitu kawan saja, isterinja, saja, dan tuan-rumah -- "bagaimana kesehatan?", "bagaimana perdagangan?" -- maka kami (para tetamu) menerangkan kepada tuan rumah, bahwa maksud kami datang, bukanlah untuk membeli ini atau itu, melainkan semata mata hanya buat bertamu sadja.
Isteri kawan saja menanjakan: bagaimanakah keadaan njonjah rumah? --- ia ingin adjar-kenal dengan njonjah rumah.
Disini tuan rumah nampak menjadi sedikit kemalu-maluan. Rupanya ia dalam kesukaran untuk mendjawab pertanjaan itu. Sebentar telingnja mendjadi kemerah-merahan, tapi ia mendjawab dengan ramah tamah: "O, terima kasih, ia dalam keadaan baik baik sadja, tetapi sajang seribu sajang ia kebetulan tidak ada dirumah, --- ia menengok bibinja jang sedang sakit".
Isteri kawan saja menjesal sekali bahwa njonjah-rumah tidak ada dirumah; terpaksa ia belum dapat adjar-kenal dengan dia hari itu.
Tetapi ... tak lama kemudian ... saja, jang duduk berhadapan kain tabir jang tergantung dipintu memisah bagian-toko dengan bagian rumah tinggal, saja melihat kain tabir itu bergerak sedikit, dan saja melihat mata orang mengintai.
Mata orang perempuan!
Saja melihat dengan njata; kaki dan udjung sarung jang kelihatan dari bawah tabir it, adalah kaki dan udjung sarung perempuan!
Dengan segera saja palingkan muka saja, berbitjara dengan tuan rumah dengan memandang muka dia sadja. Tetapi pikiran saja tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar dikepala saja. Bukankah perempuan jang mengintai tadi itu isterinya tuan rumah? mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa isterinya sedang merawat orang sakit? Tetapi ... mengapa ia tadi kelihatan malu malu, telinganja kemerah merahan, tatkala ditanja dimana isterinja?
Saja ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus terang. Rupa rupanya, isterinja ada dirumah. Tetapi ia tak mau memanggilnja keluar, supaja duduk ditoko bersama-sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilahkan isteri kawan saja supaya masuk kedalam, kebagian belakang, tempat kediamannja sehari-hari. Barangkali memang tida ada tempat penerimaan tamu jang lajak, ditempat kediaman itu. Ia njata malu ...
Sesudah bertjakap-tjakap seperlunja, kami bertiga permisi pulang. Kami mengambil djalan melalui kedai-kedai, dan pasar pula. Tapi pikiran saja terus melajang. Melajang memikirkan satu soal --- soal wanita.
Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarniah mendapat kemerdekaan?
Tetapi, ja --- kemerdekaan jang bagaimana?
Kemerdekaan seperti jang dikehendaki oleh pergerakan feminimismekah, jang hendak menjamaratakan perempuan dalam segala hal denga laki-laki?
Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum? Kemerdekaan a la Kollontay?
Seorang kawan saja, --- guru sekolah di Bengkulu --- mempunjai seorang isteri jang ia tjintai benar. Kedua lai-isteri ini saja kenal betul-betul, kedua-duanja saja anggap seperti adik saja sendiri. Sang suami dialam Bengkulu termasuk golongan "moderen", tetapi isterinja kadang-kadang mengeluh kepada saja, bahwa ia merasa dirinja terlalu terkurung.
Diluar pengetahuan isterinja, saja andjurkan kepada kawan saja itu, supaja ia memberi kemerdekaan sedikit kepada isterinja. Ia mendjawab: Ia tak mengizinkan isterinja keluar rumah, djustru oleh karena ia amat tjinta dan mendjundjung tinggi kepadanja. Ia tak mengizinkan isterinja keluar rumah, untuk mendjagadjangan sampai isterinja itu dihina orang. "Pertjajalah Bung, saja tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannja; saja hargakan dia sebagai sebutir mutiara".
... "Sebagai sebutir mutiara" ...
Ah, tidakkah banjak suami-suami jang menghargakan isterinja sebagai mutiara, --- teapi sebenarnja merusak atau sedikitnja mengurangi kebahagiaan isterinya itu?
Mereka memuliakan isteri mereka, mereka tjintainja sebagai barang jang berharga, mereka pundi-pundikannja "sebagai mutiara", --- tetapi djustru sebagaimana orang menjimpan mutiara didalam kotak, demikian pulalah mereka menjimpan isterinja itu dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknja, bukan untuk menghinanja, bukan untuk merendahkannja katanja, melainkan djustru untuk mendjaganja, untuk menghormatinja, untuk memuliakannja. Perempuan mereka hargai sebagai Dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai Dewi, tetapi mereja djaga dan awas-awaskan dan "selalu tolong" djuga sebagai satu machluk jang sampai mati tidak akan menjadi akil-baliq. Kalau saja memikirkan hal jang demikian ini, maka teringatlah saja kepada perkataan Professor Havelock Ellis jang berkata, bahwa kebanjakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai "suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol". Dipundi-pundikan sebagai soerang Dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol!
Tidakkah masih banjak laki-laki jang medewi-tolol-kan isterinja itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnja seluruh peradaban budjuis dinegeri-negeri jang telah "sopan" paa waktu sekarang ini, terhadap kaum perempuan, berdiri atas kenjataan "Dewi-tolol" itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum-sipil dan adat-istiadat dinegeri-negeri burdjuis itu sebenarnya masih men-dewi-tololkan perempuan?
Hehe ..
Bahasa yang keren banget .. men-dewi-tolol-kan perempuan???
... dah segitu dulu, mulai pusing kepala saya membaca tulisan dengan ejaan lama.
Komentar
Posting Komentar