Investasi Tiongkok dan Ancaman Besar dibaliknya
Masyarakat internasional tahu dan menyadari bahwa teknologi dan produk-produk dari RRT tidaklah sebagus buatan Jepang atau Korsel, tetangga Asianya. Selain itu, berbagai kalangan mengingatkan bahwa komitmen Tiongkok itu harus dipertanyakan. Ada beberapa hal krusial menyangkut investasi RRT yakni:
Pertama, Tiongkok belum terbukti unggul dalam pembangunan pelabuhan, jalan, jalur kereta, pelabuhan, dan bandara, dibandingkan Jepang. Korsel dan Eropa, misalnya.
Kedua, investor dari Tingkok selama ini dikenal kurang menghargai hak-hak normatif buruh. Komitmen investasi RRT itu tidak menyinggung persoalan perlindungan sosial, serta tidak ada proteksi dari investor dan pemerintah terhadap masyarakat yang terkena dampak investasi tersebut.
Ketiga, selama ini, beberapa pengadaan barang dan jasa yang melibatkan Tingkok acap kali bermasalah. Di antaranya adalah proyek program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan energi terbarukan atau fast track programme tahap I.
Pembangkit listrik yang dibangun Tiongkok dalam proyek ini tak bisa berproduksi maksimal lantaran banyak komponen usang. proyek pembangkit listrik tahap I yang dikerjasamakan dengan Tiongkok hampir 90% rampung. Namun, kapasitas produksi listrik itu hanya 30%-50% saja. Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang dibangun kontraktor Jerman, Prancis, dan Amerika yang bisa mencapai 75%-80%.
Selain itu, pada kasus pengadaan Bus Transjakarta, banyak unit yang rusak dan berkarat. Teknologi Jerman, Jepang, dan Korea lebih mahal dari RRT. Benar bahwa teknologi dari Tiongkok memang lebih murah, tetapi kapasitasnya lemah dan tak sesuai harapan.
Keempat, langkah Presiden Jokowi mengundang investor RRT mengingatkan kita kepada Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya kurun 1970-an. Saat itu, Presiden Soeharto berkeliling ke sejumlah negara mengundang investor untuk masuk dengan komitmen menerapkan upah buruh secara murah. Kebijakan upah murah yang bergulir sejak era pemerintahan Soeharto itu dilakukan dengan menetapkan upah minimum 2-3 tahun sekali. Sekiranya pemerintahan Jokowi menerapkan model yang sama, yakni upah buruh murah, kebijakan itu tidak hanya menyengsarakan buruh, tapi juga rakyat secara umum. Dan tidak ada keadilan sosial dan kesejahteraan seperti yang Jokowi kampanyekan.
Dalam kaitan upaya menarik investasi asing ini, menurut Agus Suwignyo, sejarawan UGM, kepemimpinan Presiden Jokowi sedikit banyak menunjukkan karakteristik dirinya sebagai bagian generasi pragmatis, dan cara diplomasi Jokowi, misalnya ketika mengundang investor, menunjukkan sifat pragmatisnya. Artinya, dia terbiasa menyelamatkan diri dari tekanan dengan cara beradaptasi, mengesampingkan orientasi idealis-moralisnya menjadi pragmatis.
Karena sifatnya yang idealis-moralis tapi juga adaptif-pragmatis, generasi ala "artist" ini bukan tipe pemimpin visioner yang mampu menjadi soko guru penyelesaian persoalan besar dan kompleks.
Jokowi musti berhati-hati dan waspada dengan investasi dari RRT. Belum tentu pelaksanaannya bisa memuaskan, apalagi selama ini terbukti banyak yang mengecewakan.
Jokowi juga perlu menyadari, kalau investasi RRT banyak masuk, maka akan menimbulkan iritasi dan kecurigaan dari Amerika Serikat/Barat/Jepang, dan hal ini harus dipertimbangkan dari sisi geopolitik dan geostrategi. Menjaga keseimbangan kehadiran negara-negara besar di Asia Tenggara itu, sangat diperlukan. Namun jangan sampai Jokowi terperosok ke lubang persoalan hanya karena mengejar kebutuhan atas investasi dari RRT bagi pembangunan infrastruktur yang diperlukan. Padahal kualitas investasi itu buruk atau jauh dari kualitas yang kita inginkan.
Pertama, Tiongkok belum terbukti unggul dalam pembangunan pelabuhan, jalan, jalur kereta, pelabuhan, dan bandara, dibandingkan Jepang. Korsel dan Eropa, misalnya.
Kedua, investor dari Tingkok selama ini dikenal kurang menghargai hak-hak normatif buruh. Komitmen investasi RRT itu tidak menyinggung persoalan perlindungan sosial, serta tidak ada proteksi dari investor dan pemerintah terhadap masyarakat yang terkena dampak investasi tersebut.
Ketiga, selama ini, beberapa pengadaan barang dan jasa yang melibatkan Tingkok acap kali bermasalah. Di antaranya adalah proyek program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan energi terbarukan atau fast track programme tahap I.
Pembangkit listrik yang dibangun Tiongkok dalam proyek ini tak bisa berproduksi maksimal lantaran banyak komponen usang. proyek pembangkit listrik tahap I yang dikerjasamakan dengan Tiongkok hampir 90% rampung. Namun, kapasitas produksi listrik itu hanya 30%-50% saja. Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang dibangun kontraktor Jerman, Prancis, dan Amerika yang bisa mencapai 75%-80%.
Selain itu, pada kasus pengadaan Bus Transjakarta, banyak unit yang rusak dan berkarat. Teknologi Jerman, Jepang, dan Korea lebih mahal dari RRT. Benar bahwa teknologi dari Tiongkok memang lebih murah, tetapi kapasitasnya lemah dan tak sesuai harapan.
Keempat, langkah Presiden Jokowi mengundang investor RRT mengingatkan kita kepada Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya kurun 1970-an. Saat itu, Presiden Soeharto berkeliling ke sejumlah negara mengundang investor untuk masuk dengan komitmen menerapkan upah buruh secara murah. Kebijakan upah murah yang bergulir sejak era pemerintahan Soeharto itu dilakukan dengan menetapkan upah minimum 2-3 tahun sekali. Sekiranya pemerintahan Jokowi menerapkan model yang sama, yakni upah buruh murah, kebijakan itu tidak hanya menyengsarakan buruh, tapi juga rakyat secara umum. Dan tidak ada keadilan sosial dan kesejahteraan seperti yang Jokowi kampanyekan.
Dalam kaitan upaya menarik investasi asing ini, menurut Agus Suwignyo, sejarawan UGM, kepemimpinan Presiden Jokowi sedikit banyak menunjukkan karakteristik dirinya sebagai bagian generasi pragmatis, dan cara diplomasi Jokowi, misalnya ketika mengundang investor, menunjukkan sifat pragmatisnya. Artinya, dia terbiasa menyelamatkan diri dari tekanan dengan cara beradaptasi, mengesampingkan orientasi idealis-moralisnya menjadi pragmatis.
Karena sifatnya yang idealis-moralis tapi juga adaptif-pragmatis, generasi ala "artist" ini bukan tipe pemimpin visioner yang mampu menjadi soko guru penyelesaian persoalan besar dan kompleks.
Jokowi musti berhati-hati dan waspada dengan investasi dari RRT. Belum tentu pelaksanaannya bisa memuaskan, apalagi selama ini terbukti banyak yang mengecewakan.
Jokowi juga perlu menyadari, kalau investasi RRT banyak masuk, maka akan menimbulkan iritasi dan kecurigaan dari Amerika Serikat/Barat/Jepang, dan hal ini harus dipertimbangkan dari sisi geopolitik dan geostrategi. Menjaga keseimbangan kehadiran negara-negara besar di Asia Tenggara itu, sangat diperlukan. Namun jangan sampai Jokowi terperosok ke lubang persoalan hanya karena mengejar kebutuhan atas investasi dari RRT bagi pembangunan infrastruktur yang diperlukan. Padahal kualitas investasi itu buruk atau jauh dari kualitas yang kita inginkan.
Sumber: inilah.com
Komentar
Posting Komentar