Satu Hari di Tahun 2012
Ada perasaan aneh yang menyusupi hatiku. Adrenaline rush. Ngeri, tapi tak sudi mundur. Ngeri, tapi nikmat. Sadomasochistic! Begitu pikirku. Mungkin aku sudah jadi "adrenaline junkie", mungkin juga karena akhirnya aku bisa 'menebus dosa'-ku yang tidak melakukan apa-apa di aksi-aksi sebelumnya. Mungkin juga excited karena aku menjadi saksi langsung atas salah satu peristiwa bersejarah di negara ini. Entah lah... Tapi yang jelas aku dan teman-teman sudah meneguhkan hati dan niat untuk maju. "Apapun yang tejadi, jangan lepas tangan ya?" aku berkata kepada Shera. Dia mengangguk. Tak lama kemudian kami diberi aba-aba oleh korlap untuk maju selangkah demi selangkah. Teman-teman lain masih berusaha merobohkan pagar di sisi kanan kami. Kami maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba beberapa orang di sebelah kanan Shera melepaskan pegangan tangannya dan menjauh dari barisan. Begitu pula beberapa orang di belakang kami. Mungkin mereka berubah pikiran. Mungkin mendengar kabar dari intel yang berseliweran di antara peserta. Atau mungkin juga mereka adalah para intel penyusup yang ditugasi untuk memprovokasi. Entah lah... Aku tidak peduli lagi.
Samar-samar di antara lampu sorot yang menyilaukan aku melihat bayang-bayang pasukan anti huru-hara yang berseragam lengkap. "Harusnya 3 baris paling depan itu perempuan, biar mereka rikuh untuk menyerang..." begitu pikirku. Aba-aba dari korlap di atas mobil komando masih terus meminta kami untuk maju selangkah demi selangkah. Namun tiba-tiba barisan mundur. Rupanya mobil yang dilengkapi dengan water cannon merangsek maju. Sejurus kemudian Timur Pradopo datang dan berdiri di depan barisan. Entah memberikan keterangan kepada rekan-rekan wartawan atau bernegosiasi dengan teman-teman di barisan depan, kami tidak tahu. Kami tidak bisa mendengar apapun. Yang aku tahu, Timur berdiri dikelilingi wartawan. Itu saja.
Lalu tiba-tiba area di sebelah kanan kami riuh. Pagar sudah roboh!!! Korlap segera memberi aba-aba kepada teman-teman yang merobohkan pagar untuk segera membentuk barisan yang sama. Namun instruksi itu terabaikan. Mereka merangsek masuk, polisi merangsek maju. Kami pun maju. Tapi belum jauh kami berjalan, terdengar suara letupan disertai dengan pendar-pendar bunga api dari sebelah kanan kami. Aku terpana. Dalam masa sepersekian detik aku teringat kembang api air mancur yang sering disulut oleh aku dan sepupuku ketika Lebaran dan tahun baru. Lamunan itu tak berumur lama, karena sedetik kemudian aku melihat pendar-pendar cahaya berwarna hijau, merah dan kuning yang keluar bersama bunga api itu meluncur ke arah kami. Bedanya, kembang api Lebaran biasanya kami sulut ke langit & ketika meledak akan keluar bunga api yang indah. Aku menunduk sambil menarik Shera. Pijaran bunga api melesat di atas kepala kami, lalu pecah mengasap ketika menyentuh tanah. "Gas air mata!! Sialan!" Begitu pikirku. Aku dan Shera segera berbalik dan mulai berlari bersama menjauhi gerbang. Tembakan gas air mata terus berdatangan. Sebagian dari bunga apinya jatuh memercik di kepala kami, dan beberapa kali jatuh tepat di depan kami. Aku dan Shera terus berlari bersama dengan mata setengah tertutup dan menutup hidung sambil menahan nafas sebisanya tanpa melepaskan genggaman kami. Tidak seperti kembang api Lebaran atau tahun baru "Kembang api" yang ini ditembakkan ke arah kami (bukan ke atas atau ke arah kaki kami!) & ketika jatuh akan menebar asap pedih yang membuat mata berair serta sesak nafas.
Ketika salah satu gas air mata itu ada yang jatuh tepat di kakiku, aku menutup mataku rapat-rapat, tapi terlambat menahan nafas. Seketika rasa pedih yang menusuk masuk ke hidung dan terasa hingga ke pangkal hidung, sesak... Shera menarik tanganku untuk mengajakku menghindar dari asap. Kami terus berlari sambil bergandengan. "Kalau jatuh, ya jatuh bersama. Lari, ya lari bersama." batinku. Tapi saat itu kaki kami seolah punya mata sendiri. Atau mungkin naluri yang menuntun. Ketika akhirnya tiba di jalan, ada seorang ibu penjual minuman yang mencegat peserta yang berlarian, termasuk kami. Beliau dengan cepat mengoleskan odol di bawah mata kami, lalu berkata, "Cepat! Cepat!", menyuruh kami untuk segera berlari lagi. Beberapa meter kemudian kami agak melambatkan lari kami. Shera batuk-batuk. Kami berdua terengah-engah di tengah asap. Aku tanya apakah dia mau minum, tapi dia menggeleng. Dan kami terus berlari ke arah flyover Senayan. Di depan kami ratusan anggota Garda Metal sudah membentuk pagar betis. Tujuannya adalah jika pasukan anti huru-hara datang mengejar, mereka yang akan menghadang sebisa mungkin sampai kami berada di tempat yang netral dan aman. Namun barisan mereka yang begitu rapat dan manutup seluruh badan jalan membuat kami tak bisa leluasa lewat. Sampai akhirnya korlap mereka berteriak, "WUOOIII! GARDA METAL!!! KASIH JALAN...!!!" Mungkin mereka juga mengalami adrenaline rush sehingga terpaku. Tapi tidak apa, kami tahu niat mereka baik. Setelah berhasil melewati pasukan Garda Metal, aku dan Shera berlari lagi.
Tak lama kemudian telepon genggamku mulai berdering. Pertama Ayah. Kedua Iman. Ketiga Irfan. Dan keempat kalinya Ical. Semua menanyakan ke arah mana kami pergi dan dimana akan bertemu. Meeting point kami adalah di bawah flyover Senayan, di mana ambulance parkir. Kami rasa itu adalah area yang paling aman. Tidak jauh di depan kami, aku melihat Iman dan Bhaga, di sebelah mereka ada Bunda dan Donie. Lalu kami kejar mereka. Kami berjalan bersama menuju meeting point kami. Flyover Senayan sudah di depan mata, tapi terasa sangat jauh...
Setibanya di bawah flyover, kami duduk di pinggir jalan sambil mengatur nafas. Bhaga memutuskan untuk mengawasi massa, berjaga-jaga untuk memanggil teman-teman yang lain. Tidak lama kemudian Ayah, Dhyta dan Ical mulai berdatangan. Kami berbagi minuman dan mengatur strategi lanjutan. Kami melihat ada 1 orang yang digotong & 1 orang dibawa dengan menggunakan motor menuju ambulance, dan salah satu petugas medis terkena gas air mata cukup parah. Belum ada 15 menit kami duduk, tiba-tiba Dhyta berseru, "Berdiri! Berdiri!!!' Kami semua melompat berdiri, memandang ke arah jalan depan gedung DPR. Seketika kami melihat sekumpulan orang berlari ke arah kami sambil berteriak, "Munduuuuurrr...!!!!" Tanpa pikir panjang lagi kami mulai berlari. "Shera!!!" aku berseru sambil mengulurkan tanganku pada Shera, dia segera menggengam. Kami semua berlari ke tepi trotoar yang gelap dan terlindung pepohonan. Kami berhenti disana. Aku menghitung teman-teman yang ada. Dhyta datang belakangan. Ical tidak ada....
Di bawah lindungan pepohonan kami melihat dan mendengar. Teriakan-teriakan. Langkah-langkah orang yang berlarian. Molotov. Suara tembakan. Sirene. Kami tidak tahu separah apa rusuh yang kedua itu. Tapi dugaan kami pasukan anti huru-hara sudah bergerak keluar untuk mengejar kami dan mungkin bentrok dengan Garda Metal yang memang pasang badan. Yang kami tahu, lagi-lagi tembakan gas air mata bahkan molotov diarahkan kepada kami. Suasana sudah tidak kondusif lagi, maka kami memutuskan untuk menjauh dari titik konflik. Kami sepakat, Sevel STC adalah meeting point kami berikutnya. Aku tidak ikut dan memilih untuk pulang karena beberapa sahabatku khawatir, mereka ingin bertemu malam itu juga. Mereka melihat liputan berita kerusuhan itu di TV dan tidak bisa tenang sebelum melihatku datang dalam keadaan selamat.
Dalam perjalanan pulang aku teringat pada ibu pedagang minuman yang mengoleskan odol di bawah mata kami. Ketika pedagang lain sibuk menyelamatkan diri & barang dagangan mereka, si ibu ini bertahan di tempatnya dan bahkan membantu kami dengan caranya sendiri. Dia tidak egois. Dia berdiri di sana, menunggu dan mamanggil siapapun yang terlihat olehnya tidak "terlindungi". Dia berdiri di tengah kepul asap gas air mata yang cukup pekat di sekitarnya. Dia sudah berkontribusi mendukung perjuangan kami dengan penuh keberanian.... Itulah sebenar-benarnya esensi dari sebuah perjuangan: keteguhan, ketulusan dan keberanian!
Malam itu aku belajar banyak tentang keteguhan hati, perjuangan, ketulusan, keberanian, kepedulian, persahabatan dan kebersamaan....
Samar-samar di antara lampu sorot yang menyilaukan aku melihat bayang-bayang pasukan anti huru-hara yang berseragam lengkap. "Harusnya 3 baris paling depan itu perempuan, biar mereka rikuh untuk menyerang..." begitu pikirku. Aba-aba dari korlap di atas mobil komando masih terus meminta kami untuk maju selangkah demi selangkah. Namun tiba-tiba barisan mundur. Rupanya mobil yang dilengkapi dengan water cannon merangsek maju. Sejurus kemudian Timur Pradopo datang dan berdiri di depan barisan. Entah memberikan keterangan kepada rekan-rekan wartawan atau bernegosiasi dengan teman-teman di barisan depan, kami tidak tahu. Kami tidak bisa mendengar apapun. Yang aku tahu, Timur berdiri dikelilingi wartawan. Itu saja.
Lalu tiba-tiba area di sebelah kanan kami riuh. Pagar sudah roboh!!! Korlap segera memberi aba-aba kepada teman-teman yang merobohkan pagar untuk segera membentuk barisan yang sama. Namun instruksi itu terabaikan. Mereka merangsek masuk, polisi merangsek maju. Kami pun maju. Tapi belum jauh kami berjalan, terdengar suara letupan disertai dengan pendar-pendar bunga api dari sebelah kanan kami. Aku terpana. Dalam masa sepersekian detik aku teringat kembang api air mancur yang sering disulut oleh aku dan sepupuku ketika Lebaran dan tahun baru. Lamunan itu tak berumur lama, karena sedetik kemudian aku melihat pendar-pendar cahaya berwarna hijau, merah dan kuning yang keluar bersama bunga api itu meluncur ke arah kami. Bedanya, kembang api Lebaran biasanya kami sulut ke langit & ketika meledak akan keluar bunga api yang indah. Aku menunduk sambil menarik Shera. Pijaran bunga api melesat di atas kepala kami, lalu pecah mengasap ketika menyentuh tanah. "Gas air mata!! Sialan!" Begitu pikirku. Aku dan Shera segera berbalik dan mulai berlari bersama menjauhi gerbang. Tembakan gas air mata terus berdatangan. Sebagian dari bunga apinya jatuh memercik di kepala kami, dan beberapa kali jatuh tepat di depan kami. Aku dan Shera terus berlari bersama dengan mata setengah tertutup dan menutup hidung sambil menahan nafas sebisanya tanpa melepaskan genggaman kami. Tidak seperti kembang api Lebaran atau tahun baru "Kembang api" yang ini ditembakkan ke arah kami (bukan ke atas atau ke arah kaki kami!) & ketika jatuh akan menebar asap pedih yang membuat mata berair serta sesak nafas.
Ketika salah satu gas air mata itu ada yang jatuh tepat di kakiku, aku menutup mataku rapat-rapat, tapi terlambat menahan nafas. Seketika rasa pedih yang menusuk masuk ke hidung dan terasa hingga ke pangkal hidung, sesak... Shera menarik tanganku untuk mengajakku menghindar dari asap. Kami terus berlari sambil bergandengan. "Kalau jatuh, ya jatuh bersama. Lari, ya lari bersama." batinku. Tapi saat itu kaki kami seolah punya mata sendiri. Atau mungkin naluri yang menuntun. Ketika akhirnya tiba di jalan, ada seorang ibu penjual minuman yang mencegat peserta yang berlarian, termasuk kami. Beliau dengan cepat mengoleskan odol di bawah mata kami, lalu berkata, "Cepat! Cepat!", menyuruh kami untuk segera berlari lagi. Beberapa meter kemudian kami agak melambatkan lari kami. Shera batuk-batuk. Kami berdua terengah-engah di tengah asap. Aku tanya apakah dia mau minum, tapi dia menggeleng. Dan kami terus berlari ke arah flyover Senayan. Di depan kami ratusan anggota Garda Metal sudah membentuk pagar betis. Tujuannya adalah jika pasukan anti huru-hara datang mengejar, mereka yang akan menghadang sebisa mungkin sampai kami berada di tempat yang netral dan aman. Namun barisan mereka yang begitu rapat dan manutup seluruh badan jalan membuat kami tak bisa leluasa lewat. Sampai akhirnya korlap mereka berteriak, "WUOOIII! GARDA METAL!!! KASIH JALAN...!!!" Mungkin mereka juga mengalami adrenaline rush sehingga terpaku. Tapi tidak apa, kami tahu niat mereka baik. Setelah berhasil melewati pasukan Garda Metal, aku dan Shera berlari lagi.
Tak lama kemudian telepon genggamku mulai berdering. Pertama Ayah. Kedua Iman. Ketiga Irfan. Dan keempat kalinya Ical. Semua menanyakan ke arah mana kami pergi dan dimana akan bertemu. Meeting point kami adalah di bawah flyover Senayan, di mana ambulance parkir. Kami rasa itu adalah area yang paling aman. Tidak jauh di depan kami, aku melihat Iman dan Bhaga, di sebelah mereka ada Bunda dan Donie. Lalu kami kejar mereka. Kami berjalan bersama menuju meeting point kami. Flyover Senayan sudah di depan mata, tapi terasa sangat jauh...
Setibanya di bawah flyover, kami duduk di pinggir jalan sambil mengatur nafas. Bhaga memutuskan untuk mengawasi massa, berjaga-jaga untuk memanggil teman-teman yang lain. Tidak lama kemudian Ayah, Dhyta dan Ical mulai berdatangan. Kami berbagi minuman dan mengatur strategi lanjutan. Kami melihat ada 1 orang yang digotong & 1 orang dibawa dengan menggunakan motor menuju ambulance, dan salah satu petugas medis terkena gas air mata cukup parah. Belum ada 15 menit kami duduk, tiba-tiba Dhyta berseru, "Berdiri! Berdiri!!!' Kami semua melompat berdiri, memandang ke arah jalan depan gedung DPR. Seketika kami melihat sekumpulan orang berlari ke arah kami sambil berteriak, "Munduuuuurrr...!!!!" Tanpa pikir panjang lagi kami mulai berlari. "Shera!!!" aku berseru sambil mengulurkan tanganku pada Shera, dia segera menggengam. Kami semua berlari ke tepi trotoar yang gelap dan terlindung pepohonan. Kami berhenti disana. Aku menghitung teman-teman yang ada. Dhyta datang belakangan. Ical tidak ada....
Di bawah lindungan pepohonan kami melihat dan mendengar. Teriakan-teriakan. Langkah-langkah orang yang berlarian. Molotov. Suara tembakan. Sirene. Kami tidak tahu separah apa rusuh yang kedua itu. Tapi dugaan kami pasukan anti huru-hara sudah bergerak keluar untuk mengejar kami dan mungkin bentrok dengan Garda Metal yang memang pasang badan. Yang kami tahu, lagi-lagi tembakan gas air mata bahkan molotov diarahkan kepada kami. Suasana sudah tidak kondusif lagi, maka kami memutuskan untuk menjauh dari titik konflik. Kami sepakat, Sevel STC adalah meeting point kami berikutnya. Aku tidak ikut dan memilih untuk pulang karena beberapa sahabatku khawatir, mereka ingin bertemu malam itu juga. Mereka melihat liputan berita kerusuhan itu di TV dan tidak bisa tenang sebelum melihatku datang dalam keadaan selamat.
Dalam perjalanan pulang aku teringat pada ibu pedagang minuman yang mengoleskan odol di bawah mata kami. Ketika pedagang lain sibuk menyelamatkan diri & barang dagangan mereka, si ibu ini bertahan di tempatnya dan bahkan membantu kami dengan caranya sendiri. Dia tidak egois. Dia berdiri di sana, menunggu dan mamanggil siapapun yang terlihat olehnya tidak "terlindungi". Dia berdiri di tengah kepul asap gas air mata yang cukup pekat di sekitarnya. Dia sudah berkontribusi mendukung perjuangan kami dengan penuh keberanian.... Itulah sebenar-benarnya esensi dari sebuah perjuangan: keteguhan, ketulusan dan keberanian!
Malam itu aku belajar banyak tentang keteguhan hati, perjuangan, ketulusan, keberanian, kepedulian, persahabatan dan kebersamaan....
by: Ratri Pearman
http://morbiddaydreamer.blogspot.com/2012_04_01_archive.html
Komentar
Posting Komentar