Kapitasi dan "Penghasilan Dokter"
Ada beberapa teman dari luar bidang kedokteran/kesehatan yang bertanya terkait artikel di Solopos 9 Januari 2014 kemarin. Yang ditanyakan banyak terkait dengan paragraf berikut ini:
"Berikut satu simulasi sederhana. Misalnya dari 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang dan angka rata-rata kunjungan ke dokter adalah 25%. Berarti ada 750 orang yang dilayani dalam satu bulan. Katakanlah biaya obat dan kebutuhan pemeriksaan rata-rata Rp 20.000/orang. Kemudian dengan menghitung biaya operasional, gaji karyawan, biaya sewa lahan, dan bahan habis pakai lainnya, maka “sisa” yang diperoleh dokter adalah sekitar Rp. 6.000.000/bulan. Bila kapitasi pada Rp. 8000/orang, dengan ilustrasi yang sama, maka sisanya adalah pada kisaran Rp. 4.000.000/bulan."
Saya akan coba paparkan satu simulasi yang pernah dihitung bersama-sama - artinya bukan dari saya sendiri saja. Namun sebelum menghitung, ada beberapa poin yang sebaiknya diketahui dulu terkait dengan arah pengembangan pelayanan kesehatan di PPK 1 dalam konsep BPJS:
1. Yang masuk kategori PPK 1 adalah: Puskesmas, praktek dokter/dokter gigi, klinik pratama dan RS pratama. Semua mendapat nilai kapitasi yang sama. Tentu ini berarti standarnya didorong menuju ke (lihat Permenkes 71/2013 pasal 2):
a. Pelayanan 24 jam 7 hari seminggu dengan kemudahan akses untuk dihubungi
b. Lokasi yang berciri klinik bahkan RS, bukan sekedar kamar praktek
c. Sarana prasarana yang mendukung
d. Tim kerja yang tidak mungkin hanya dilakukan satu orang dokter dan satu orang perawat profesional
e. Administrasi kesehatan yang lengkap (rekam medis dengan sistem yang handal termasuk di dalamnya), juga untuk keperluan pengajuan klaim. Dalam era BPJS, itu semua menjadi beban PPK 1, tidak lagi diberikan fasilitas. Perlu tenaga administrasi yang cukup.
a. Pelayanan 24 jam 7 hari seminggu dengan kemudahan akses untuk dihubungi
b. Lokasi yang berciri klinik bahkan RS, bukan sekedar kamar praktek
c. Sarana prasarana yang mendukung
d. Tim kerja yang tidak mungkin hanya dilakukan satu orang dokter dan satu orang perawat profesional
e. Administrasi kesehatan yang lengkap (rekam medis dengan sistem yang handal termasuk di dalamnya), juga untuk keperluan pengajuan klaim. Dalam era BPJS, itu semua menjadi beban PPK 1, tidak lagi diberikan fasilitas. Perlu tenaga administrasi yang cukup.
2. Jenis pelayanan komprehensif yang harus dilayani di PPK 1 (pasal 3):
a. Pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pemeriksaan fisik, kebidanan, darurat medis (tindakan bedah kecil spt menjahit luka dan sejenisnya), pelayanan penunjang (laboratorium sederhana) dan kefarmasian (pemberian obat sesuai formularium lihat di Kepmenkes 328/2013 yang berbeda-beda tiap tingkatan PPK 1, PPK 2 dan PPK 3).
b. Untuk menunjang pelayanan itu, bila memang fasilitas tidak memiliki secara mandiri, maka harus menunjukkan Kesepakatan Kerjasama dengan Laboratorium dan Apotek di luar fasilitas.
a. Pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pemeriksaan fisik, kebidanan, darurat medis (tindakan bedah kecil spt menjahit luka dan sejenisnya), pelayanan penunjang (laboratorium sederhana) dan kefarmasian (pemberian obat sesuai formularium lihat di Kepmenkes 328/2013 yang berbeda-beda tiap tingkatan PPK 1, PPK 2 dan PPK 3).
b. Untuk menunjang pelayanan itu, bila memang fasilitas tidak memiliki secara mandiri, maka harus menunjukkan Kesepakatan Kerjasama dengan Laboratorium dan Apotek di luar fasilitas.
3. Ada 144 jenis diagnosis penyakit yang HARUS selesai ditangani di PPK 1 dan TIDAK BOLEH dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3. Sebaliknya, bila PPK 2 dan PPK 3 menangani kasus dgn diagnosis tersebut, berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.
4. Angka cakupan 3000 orang ini adalah prediksi optimis, karena di lapangan, bisa saja tidak mencapai angka itu.
Dengan poin-poin itu, saya jabarkan simulasi dalam artikel tersebut. Dokter sebagai PPK 1, dengan cakupan 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang/bulan, maka menerima Uang Kapitasi Rp. 30 juta/bulan. Angka kunjungan 25%, artinya selama sebulan ada 25% x 3000 = 750 kali orang berobat (tidak harus selalu 1 orang sekali datang, tetapi yang dihitung jumlah kunjungannya). Deskripsi biaya yang dikeluarkan per bulan:
Dengan poin-poin itu, saya jabarkan simulasi dalam artikel tersebut. Dokter sebagai PPK 1, dengan cakupan 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang/bulan, maka menerima Uang Kapitasi Rp. 30 juta/bulan. Angka kunjungan 25%, artinya selama sebulan ada 25% x 3000 = 750 kali orang berobat (tidak harus selalu 1 orang sekali datang, tetapi yang dihitung jumlah kunjungannya). Deskripsi biaya yang dikeluarkan per bulan:
1. Rata-rata biaya pemeriksaan/terapi/tindakan Rp. 20.000/orang total Rp. 15.000.000
2. Gaji 2 orang tenaga administrasi 2 x Rp. 1.000.000 total Rp. 2.000.000
3. Gaji orang perawat 2 x Rp. 1.500.000 total Rp. 3.000.000
4. Biaya operasional (listrik, air, telepon, layanan penunjang di ruang tunggu, dll) Rp. 1.000.000
5. Sewa tempat/biaya pemeliharaan/penyusutan Rp. 2.000.000
6. Biaya pengelolaan administrasi Rp. 500.000
7. Biaya tak terduga Rp. 500.000
2. Gaji 2 orang tenaga administrasi 2 x Rp. 1.000.000 total Rp. 2.000.000
3. Gaji orang perawat 2 x Rp. 1.500.000 total Rp. 3.000.000
4. Biaya operasional (listrik, air, telepon, layanan penunjang di ruang tunggu, dll) Rp. 1.000.000
5. Sewa tempat/biaya pemeliharaan/penyusutan Rp. 2.000.000
6. Biaya pengelolaan administrasi Rp. 500.000
7. Biaya tak terduga Rp. 500.000
Maka total pengeluaran adalah Rp. 24.000.000/bulan. Berarti sisa kapitasi Rp. 6.000.000/bulan. Hitungan itu dengan 1 orang dokter. Padahal tentu tidak layak kalau 1 orang dokter bekerja 24 jam 7 hari seminggu. Minimal ada 2 orang dokter untuk bergantian. Lebih baik lagi minimal 3 orang. Dengan ilustrasi serupa, bisa diterima saya kira bahwa kalau kapitasinya Rp. 8.000/orang, maka sisanya barangkali sekitar 3-4 jutaan/bulan.
Seperti tertulis dalam artikel, “sisa” itu akan menjadi lebih signifikan bila bisa dibatasi pada angka 12% (hitung-hitungan matematis dari Ilmu Kesehatan Masyarakat). Kalau dalam simulasi yang dikembangkan sekarang, diharapkan tidak lebih dari 20% sambil terus berusaha ditekan. Pengalaman di Jamsostek sekarang, dilaporkan angka kunjungan pada angka 15%. Usaha menurunkannya melalui usaha promotif dan preventif (menjaga kesehatan sebelum sakit).
Cerita seorang dokter di daerah Boyolali, yang menjadi Dokter ASKES sejak sebelum era BPJS, dia rajin terjun ke lapangan. Kalau ada keluarga pasien yang sering sakit, didatangi rumahnya. Bahkan dia lebih rela membantu membiayai pembuatan jamban atau memplester lantai, agar keluarga itu lebih sehat sehingga jarang sakit. Dia juga rajin menyambangi acara-acara seperti PKK atau Rapat warga untuk penyuluhan. Bahkan tidak jarang jadi sponsor lomba-lomba tingkat RT seperti bayi sehat atau cerdas cermat dokter kecil. Ujung-ujungnya angka kesakitan bisa rendah. Tentu saja, usaha seperti itu juga perlu dukungan sumber daya.
Berapa sebenarnya angka kapitasi yang dianggap “layak”? Angka rujukan dari sistem sejenis di luar negeri adalah 40-60% dari premi. Sayangnya, di tempat kita, yang dipakai dasar menghitung adalah premi terendah yaitu Rp. 19.225 sehingga angka 8.000 – 10.000 itu sudah dianggap layak. Padahal, rata-rata premi kita (bila memperhitungkan yang preminya 25, 42 dan 59 ribuan sebulan), ada di angka 28 ribu sekian. Berarti kapitasi seharusnya antara 12-16 ribu. Ini yang mendasari usulan IDI bahwa kapitasi PPK 1 antara 14-15 ribu/orang/bulan.
Lebih dari itu, sebenarnya ada yang lebih esensial. Menurut pasal 51 UU Praktik Kedokteran 2014 menyatakan bahwa Dalam melaksanakan praktek kedokteran, dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Bila ini tidak dipenuhi maka ada ancaman pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda Rp. 50 juta.
Para dokter khawatir akan berisiko mengalami keterpaksaan memberikan layanan di bawah standar. Contoh kecil, para peserta PPDS (calon residen) di sebuah RS, sampai harus urunan uang agar dapat membelikan obat spesifik untuk pasien serangan jantung, karena plafon yang ada tidak cukup untuk membeli obat tersebut. Tentu ini kesalahan, bahkan kesalahan ganda dalam sistem pelayanan kesehatan yang harus menjadi keprihatinan kita.
Semoga penjelasan ini lebih memperjelas artikel kemarin, terkait pertanyaan-pertanyaan soal “berapa yang diperoleh dokter”. Mangga, mari belajar saling memahami.
Catatan: regulasi-regulasi yang saya rujuk itu bisa diperoleh secara bebas di internet. Khusus yang terkait JKN-BPJS, bisa diperoleh di:http://www.jkn.kemkes.go.id/unduhan.php
Komentar
Posting Komentar